Tapi kenyataan di lapangan, maksudnya lapangan dunia maya yang terjadi justru media-media joroklah yang mengangkangi page one google search, dari situ lingkaran setan pun terjadi. Dengan tampilnya media-media itu di urutan pertama SERP (Search Engine Result Page) atau halaman hasil pencarian, maka banyak orang akan menjadikannya rujukan bacaan pertama dan itu akan makin manjadikan web-web tersebut dimanja algoritma sehingga website yang benar-benar menyajikan info yang proper akan tenggelam di bawahnya, siklus ini berulang di setiap ada isu baru yang beredar di masyarakat. Bahkan ketika media tersebut mencoba menyajikan berita berimbang, justru masyarakat menjadi kurang berminat. Akhirnya mereka menempuh jalan sebagai media "jorok" demi menjinakkan SEO dan akhirnya dikunjungi banyak orang.
Media-media ini banyak modusnya, bahkan dengan tanpa menyebut nama pun teman-teman pasti langsung membayangkan dan pasti pernah terjebak masuk ke dalam web tersebut ketika mencari suatu berita atau ingin membaca sebuah artikel.
- Sampah Iklan
Aku tidak habis pikir bagaimana sebuah media mainstream yang sudah kelewat besar di tanah air ini websitenya justru dipenuhi iklan, nggak tanggung-tanggung, iklannya sampai menutupi konten. Padahal web itu remis dan dikelola oleh kantor berita sungguhan, bagian dari perusahaan media yang terkenal dan bukan abal-abal. Tapi ketika lihat konten iklannya benar-benar pengin memaki, itu aku loh, usia millenial, bagaimana bapack-bapack yang kalau scroll HP aja harus mundur mundur kepalanya? Apa nggak nyiksa dan membuang waktu mereka?
Apa iya di dalam timnya tidak ada yang mengurusi bagian UX atau User Experience, yang mengarahkan bagaimana pengalaman pengguna saat mengakses website media tersebut. Kalau ingin membaca berita saja seorang user harus berkali-kali close iklan dan scrolldown gambar banner iklan segaban, aku kira UX Designernya mendem duit iklan. Sadar cuk!
- Boros Klik
Sebuah artikel berita yang pendek banget, isinya juga sebuah pernyataan tanpa kesimpulan akhir karena peristiwanya kadang masih terjadi, itu sudah dijadikan sapi perah iklan oleh web media "jorok", tiap tahap rentetan peristiwanya dijadikan artikel sendiri, nggak cuma sampai situ aja, tiap artikelnya dibuat berhalaman-halaman di mana kita harus klik next untuk membaca 100-200 kata kemudian harus klik next lagi , padahal bisa aja dijadikan satu.
Ngejar banyak klik Pak?
Udah kebaca banget kalau ini modus memperbanyak tayangan iklan. Karena tiap page akan menayangkan iklan lagi, dan jancuknya, harus close popup iklannya tiap kali user berganti halaman.
- Judul Provokatif
Kalau melihat judul provokatif di media abal-abal internet rasanya biasa aja, ah ini kan emang nggak ada yang bertanggung jawab, mereka juga sembunyi dibalik anonim, makannya berani menyalak sebar-bar itu.
Dulu, ada media koran jorok kayak gini yang kontennya emang berisi hal-hal jorok beneran. Dan kitapun bisa menilai orang dengan melihat bacaannya. Biasanya, kalau dia suka baca hal-hal gituan di koran itu, udan ketebak ke mana otaknya. Walaupun ini tidak bisa untuk menjustifikasi secara keseluruhan.
Masyarakat menilai derajat media jorok ini dengan posisi kolong meja, masudnya bukan untuk dibaca semua kalangan, dan kalaupun dibaca, pasti sembunyi-sembunyi, atau setidaknya jangan sampai orang tahu kalau kita baca.
Sayangnya, media-media besar di zaman ini justru memilih untuk mengikuti jalan gelap media koran jorok itu. Judulnya ambigu, seringkali provokatif, tidak mengakomodir kedua sisi opini, dan membesar-besarnya sesuatu.
Ternyata media mainstream hari ini memilih turun derajat dengan memainkan trik jorok macam itu. Seringkali antara judul dengan isi sama sekali tidak nyambung, tulisan tidak netral dan menyampaikan opini dua sisi, tidak crosscheck, menyadur tanpa izin, memberitakan konten media sosial recehan, bahkan ngeprank!
Dari sisi jurnalistik, gaya-gaya media jorok yang seperti ini akan menurunkan martabatnya sendiri jadi selevel majalah dinding milik anak SMP.
Kalau Cangkeman?
Jelas, lahir sebagai penampung misuhan dan kritik, bukan sebagai rujukan informasi, dan dibuat untuk kamu yang sudah jengah dengan web-web sampah yang mengaku sebagai portal berita tapi ternyata hanya sebuah corong sebuah pemikiran.
- Auto Subscribe
Pernah mengunjungi web media dan selalu disuruh berlangganan berita terbaru? Padahal sudah klik tidak tapi terus ditawarkan. Penawaran macam apa yang diberikan berulang kepada user yang sudah berkata tidak, penjual dodol di dalam bus antar kota saja nggak maksa seperti itu dalam menawarkan dagangannya. Ini kok media maksa-maksa amat supaya kita dapat notif setiap kali mereka posting. Mungkin kaum muda akan cekatan untuk mengklik tidak, tapi apa kabarnya dengan orang tua dengan gadgetnya?
Kalau kamu pernah cek HP orang tua dan melihat deretan notif berita di panel notifikasi HPnya, itu ulah web media jorok yang bertubi-tubi menyerang usernya sampai kepleset mengklik tombol berlangganan padahal sudah berkali-kali klik tidak mau.
Kalau kita selalu memilih "tidak" untuk berlangganan notifikasinya, apa kita masih aman dari konten web media itu?
Oo tentu tidak Ferguso, disamping menyerangmu dari sisi yang tadi, aku ceritakan, mereka sudah menyerangmu dari aplikasi browser atau news reading app yang dipenuhi konten dari portal media itu. Atau bahkan mereka "ujug-ujug"sudah berwujud aplikasi dan terinstall di HPmu ketika baru dibeli.
Kualitas jurnalisme media online kita sedang tidak baik-baik saja, hal ini akan memperkeruh garis batas antara opini dan fakta, hoax akan cepat tersebar dan klarifikasi tidak akan mampu menahan gelombangnya, independensi akan menjadi sangat langka dan berkarat, yang ujungnya masyarakat akan membaca berita sesuai apa yang ingin dibaca saja, tergantung preferensi opininya, yang tidak sesuai ya tidak dibaca, ini akan mempolarisasi pemikiran bangsa yang mana literasi saja tidak cukup untuk memperbaiki ini semua.
Apa yang diharapkan dari masyarakat yang sudah melek baca tapi sumber bacaannya adalah media media yang jorok dan kasar sekali dalam mencari uangnya?
0 komentar