Gambar : Kopiluvium |
Kemudian bisnis kopi juga bukan hanya di secangkir kopinya, tapi di tempat. Seberapa berhasil sebuah coffeshop membangun atmosfir yang cozzy di tempatnya akan sangat berpengaruh pada lamanya pengunjung akan betah berlama-lama di situ yang pada akhirnya membantu penjualan item lainnya selain kopi.
Di Indonesia, hampir 100% produksi kopi yang beredar berasal dari pasokan pengusaha kopi perkebunan rakyat, perkebunan besar hanya menyumbang kurang dari 10% sisanya. Ini masih bisa dikatakan baik untuk pemerataan ekonomi dalam negeri, selama belum ada mafia besar yang bermain-main di sana. Sampai saat ini bahkan bisnis coffeeshop berhasil menggaet banyak investor untuk memberikan pendanaan yang cukup besar.
Kopi kenangan misalnya, berhasil mendapat suntikan data sebesar Rp 121,6 miliar dari JWC Venture ditambah Rp 282 miliar dari Sequio. Ada juga Fore Coffee yang berhasil meraih dana Rp 127 miliar dari East Ventures, SMDV, Pavilion Capital, Agaeti Venture Capital, Insignia Venture Partners, dan beberapa lagi.
Oh ya, Fore Cofee juga menarik untuk kita bahas keberhasilannya menyilangkan industri kopi dengan ekonomi digital di Indonesia. Fore berhasil mengawinkan strategi Online to Offline (O2O) dengan menggabungkan kehadiran toko retailnya yang berada di banyak titik dengan aplikasi mobile untuk melayani pelanggannya. Dengan sedikit Promo di awal-awal peluncurannya, Fore dibanjiri orderan. Meski sayangnya sistem keamanan aplikasi yang waktu itu belum ketat, promo yang ada di aplikasi tersebut justru digunakan untuk mendapatkan kopi gratis hanya dengan mendaftar akun baru setiap harinya.
Seperti bisnis-bisnis hype sebelumnya, sudah ditebak bisnis kopi kekinian juga langsung diserbu para artis ibukota untuk melebarkan sayap bisnisnya. Tidak sedikit artis yang kemudian membangun kedai kopinya sendiri. Apalagi Indonesia kaya dengan jenis kopi yang juga memberi kemudahan untuk merealisasikan ide kreatif dalam mengembangan konsep menu kedai kopi. Padahal di Italia, tempat lahirnya Espresso dan Cappucinno, malah gak ada tanaman kopi sama sekali.
Menurut laporan riset dari Toffin dan MIX, gelombang kopi-kopian di Indonesia terbagi menjadi 4 rombongan.
Gelombang pertama. Terjadi ketika Kapal Api, Kopi ABC, Nescafe dan Torabika pelan tapi pasti mulai memperkenalkan dan merajai produk kopi sachet yang tersebar di kedai kopi tradisional. Hanya sedikit kedai kopi modern waktu itu, Dunkin yang sebenarnya juga menjual kopi sudah terlalu dikenal sebagai gerai donat, dan Excelso baru eksis di 1991
Gelombang kedua, muncul ketika Starbucks and the genk seperti Segafredo dan Coffee Bean nongol di Indonesia. Ratu Plaza menjadi lokasi outlet pertama starbuck. Menu racikannya berupa Caramel Macchiato yang melegenda di Singapura menjadikan masyarakat tidak sabar menunggu untuk bisa mencicipi langsung dari Jakarta. Setelah sukses di outlet pertama, ekspansi cepat dilakukan oleh pemegang lisensi, PT MAP Boga Adiperkasa Tbk, ke seluruh kota besar di Indonesia.
Di gelombang ketiga, laporan Toffin menyebutkan Anomali dan Tanamera Coffee sebagai tonggaknya. Pilihan untuk menampilkan mesin kopi di depan pelanggan ternyata memiliki nilai tambah sendiri. Kehadiran mesin kopi ini menjadi nilai tambah bagi pelanggan karena mendapatkan visual langsung dalam proses kopi yang diminumnya. Tren ini akhirnya diikuti oleh banyak kedai kopi dan proses seduhan kopi menjadi perhatian yang memikat orang datang. Di gelombang ini juga raksasa seperti J.Co Donut & Coffee mulai serius di bisnis kopi, diikuti dengan Lippo Group yang menghadirkan Maxx Coffee.
Di gelombang keempat, market size tumbuh dengan sangat cepat, arah perkembangannya menjadi tidak bisa ditebak, bisnis kopi-kopian ini justru mengarah kepada Coffee-to-go atay kedai kopi Ready to Drink (RTD). Harga yang lebih terjangkau dan cepat dan varian yang banyak. Kopi Kenangan, Janji Jiwa, Kulo, dan kopi susu dengan nama-nama aneh (baca:alay) kini menjamur di mana-mana. Perpaduan espresso, susu dan gula aren yang akhirnya sangat populer ini tidak pernah diprediksi akan membuat gelombang baru dalam industri kopi-kopian.
Tren ini hanya terjadi di Indonesia. Perpindahan seleran dari penikmat kopi sachet ke specialty cofee ternyata menyisakan suatu ruang kosong di antara keduanya. Bagi penikmat kopi sachet, beralih ke specialty coffee berarti biaya ngopi akan melambung tinggi. Nongkrong di coffeeshop juga dirasa terlalu mahal. Jadi, ada kelompok pasar penikmat kopi yang belum terakomodir keinginannya. Pasar ini sudah tidak lagi terlalu menyukai kopi sachet , tapi juga masih berat untuk menikmati espresso atau cappucinno murni.
Mereka ini ingin menikmati kopi, tetapi kopi dengan citarasa yang manis. Diberi catatan sedikit, manisnya yang ala Indonesia ya. Kalau Cappucinno atau Caffe Latte ala Italia itu manis kopi didapat dari susu yang di-steamed. Ada perbedaan yang signifikan disitu. Sangat berbeda dengan manisnya gula aren. Dan manis dari ekstrak buah misalnya.
Media sosial mempunyai peranan penting dalam kehadiran kopi-kopi ready to drink. Influencer dan pemasaran online melalui User Generated Content di media sosial mendorong lebih banyak orang untuk berkenalan dan akhirnya menyukai genre minuman ini. Sistem franchise yang murah dan mudah membuat kedai kopi seperti ini mudah ditemukan, apalagi dengan harga yang lebih terjangkau dibanding kopi specialty dan varian rasa yang beragam dan manis yang "khas" ala lidah Indonesia ini lebih masuk di kalangan muda yang menjadi pasar utama bisnis kopi-kopian ini.
Sejak kapan semua ini bermula? Bagaimana perkembangan trend kedai kopi sampai sekarang ini?
Tunggu di artikel selanjutnya hanya di Cangkeman.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus